Perekonomian Indonesia
Autor: Rachel • January 28, 2018 • 2,443 Words (10 Pages) • 663 Views
...
Selain pengaruh dari perekonomian negara lain, perekonomian Indonesia juga dipengaruhi harga komoditas global yang terus menurun akibat rendahnya permintaan dunia yang sejalan dengan ekonomi yang makin bergantung pada konsumsi domestik, penurunan harga diperkirakan terjadi di seluruh komoditas utama, dengan penurunan terbesar pada batubara, nikel, timah, dan tembaga. Harga minyak juga diperkirakan terus menurun yang disebabkan oleh masih tingginya inventory dan adanya potensi peningkatan supply dari Iran di tengah lambatnya tren peningkatan harga minyak.
Saat ini, negara asing juga memiliki porsi yang besar di pasar obligasi dan saham Indonesia. Sepanjang bulan Oktober, terjadi aliran masuk dana asing sebesar US$ 249 juta dengan rincian US$ 174 juta masuk ke pasar saham dan US$ 75 juta ke pasar Surat Utang Negara (SUN). Oleh sebab itu, apabila Bank Indonesia menurunkan BI Rate, akan banyak dana investor asing yang keluar dari Indonesia karena investasi di Indonesia dinilai tidak menarik lagi. Kemungkinan ini juga diperparah dengan adanya kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi global dan ketidakpastian rencana the Fed untuk menaikkan FRR. Akibatnya, rupiah akan melemah.
Untuk menghindari depresiasi, dibutuhkan kebijakan moneter yang tepat. Rangarajan (1997) mengatakan bahwa kebijakan moneter sangat sesuai untuk mencapai tujuan stabilitas harga dalam perekonomian dan tugas Bank Indonesia lah sebagai pelaksana otoritas moneter untuk menjaga stabilitas harga dan nilai tukar rupiah. Bank Indonesia tentunya sudah memikirkan secara matang bahwa keputusan untuk mempertahankan BI Rate adalah keputusan terbaik.
Namun, pemerintah saat ini tidak memiliki pendapat yang sama dengan Bank Indonesia. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menilai BI Rate seharusnya turun seiring dengan inflasi yang terkendali. Saat ini, suku bunga yang rendah dibutuhkan unuk mendorong ekonomi dan kinerja investasi yang tengah dalam perlambatan.
Memang benar inflasi pada triwulan III dan Oktober 2015 tetap terkendali dan mendukung pencapaian sasaran inflasi 2015, yaitu 4±1%. IHK pada Oktober 2015 tercatat mengalami deflasi sebesar -0,08% (mtm) atau 6,25% (yoy), lebih rendah dibandingkan rata-rata historis 4 tahun terakhir (2011-2014) yang mencatat inflasi sebesar 0,15% (mtm) maupun perkiraan Bank Indonesia (Grafik 1.8). Hal tersebut didorong oleh koreksi harga pangan pada kelompok volatile food dan koreksi berbagai tarif angkutan pascalebaran pada kelompok administered price. Inflasi inti bulan Oktober 2015 pun tercatat lebih rendah dari bulan sebelumnya yang dipengaruhi oleh menguatnya rupiah, ekspektasi inflasi yang terkendali, dan kegiatan ekonomi domestik yang melambat. Dengan inflasi yang rendah tersebut, pemerintah menuntut agar BI Rate juga diturunkan.
Suku bunga yang tinggi juga otomatis akan membuat suku bunga pinjaman tinggi sehingga membuat pengusaha atau produsen enggan atau sulit mendapatkan pinjaman. Sektor usaha pun menjadi sulit untuk mengembangkan usaha baru. Selain itu, suku bunga yang tinggi membuat masyarakat lebih tertarik untuk menyimpan uangnya di bank daripada menggunakan uangnya untuk bertransaksi dan membangun usaha. Akhirnya, pertumbuhan ekonomi pun melambat. Dapat dilihat pada Tabel 1.1 bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2015 lebih rendah daripada tahun 2014.
Dari sisi neraca pembayaran, perbaikan kinerja transaksi berjalan terus berlangsung terutama ditopang oleh neraca perdagangan nonmigas. Defisit transaksi berjalan dalam neraca pembayaran Indonesia triwulan III 2015 tercatat sebesar 4,0 milliar dolar AS (1,86& PDB), membaik dibandingkan dengan defisit di triwulan III 2014 sebesar 7,0 milliar dolar AS (3,02% PDB) maupun defisit di triwulan II 2015 sebesar 4,2 milliar dolar AS (1,95% PDB) (Grafik 1.9). Sementara itu, neraca perdaganagn Indonesia pada Oktober 2015 menunjukkan perkembangan yang positif dengan mencatat surplus sebesar 1,01 miliar dolar AS dan kinerja transaksi modal dan finansial masih mencatat surplus di tengah meningkatnya ketidakpastian di pasar keuangan global. Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa pada akhir Oktober 2015 tercatat sebesar 100,7 miliar dolar AS atau setara dengan 7,1 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Nilai tukar Rupiah pun menguat setelah mengalami tekanan depresiasi pada triwulan III 2015. Pada triwulan III 2015, Rupiah secara rata-rata melemah sebesar 5,35% (qtq) ke level Rp 13.873 per dolar AS. Tekanan terhadap Rupiah dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu kekhawatiran terhadap normalisasi kebijakan the Fed dan devaluasi Yuan. Namun, Rupiah menguat pada bulan Oktober 2015 dipicu oleh sentimen positif terhadap EM akibat FOMC yang dovish dan membaiknya optimisme terhadap prospek ekonomi Indonesia sejalan dengan rangkaian paket kebijakan pemerintah dan paket stabilisasi nilai tukar yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Rupiah secara rata-rata menguat 4,47% (mtm) ke level Rp 13.3783 per dolar AS.
Hal-hal inilah yang membuat pemerintah semakin yakin untuk meminta Bank Indonesia untuk menurunkan BI Rate. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Simorangkir dan Adamanti (2010), kombinasi kebijakan fiskal dan moneter ekspansif, seperti meningkatkan belanja pemerintah dan menurunkan tingkat suku bunga, akan lebih efektif daripada respon kebijakan yang diambil sendiri-sendiri. Dari sisi PDB, kebijakan fiskal dan moneter gabungan memberikan efek pengganda yang signifikan untuk mendorong permintaan agregat melalui peningkatan konsumsi, investasi, belanja pemerintah, dan ekspor/impor. Berdasarkan sektor, kebijakan fiskal dan moneter ekspansif meningkatkan produksi di semua sektor ekonomi melalui insentif fiskal (pemotongan pajak, bea masuk rendah, dan lain-lain) yang mendorong sektor usaha untuk meningkatkan investasi. Selain itu, permintaan agregat kuat juga mendorong sektor usaha untuk meningkatkan produksi dalam rangka memenuhi permintaan tersebut. Dari sisi institusi, pajak yang lebih rendah dan subsidi yang meningkat mengangkat pendapatan rumah tangga dan juga daya beli rumah tangga. Selain itu pendapatan yang lebih tinggi mendukung konsumsi rumah tangga yang lebih besar. Jadi, pemerintah sangat mengharapkan Bank Indonesia dapat mendukung stimulus fiskal yang sedang dilakukan pemerintah dengan pelonggaran moneter yang salah satunya dilakukan dengan menurunkan BI Rate sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Meski pun ada perbedaan pendapat antara BI dan pemerintah terkait kebijakan moneter yang telah ditetapkan, pemerintah dan BI juga harus kembali mengingat bahwa pada dasarnya kebijakan moneter memang bertujuan untuk menjaga stabilitas harga, bukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan satu kebijakan memang tidak bisa mencapai semua tujuan sekaligus (Rangarajan, 1997).
Kebijakan
...