Tugas Mata Kuliah
Autor: Jannisthomas • March 6, 2018 • 5,589 Words (23 Pages) • 563 Views
...
Secara umum birokrasi dibedakan menjadi empat (4) peran, yaitu: peran provisi, subsidi, regulasi, dan produksi. Peran provisi menempatkan birokrasi sebagai organisasi pemerintah memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan penyediaan dan pelayanan barang-barang publik yang peruntukannya secara komunal dan tidak dapat dimiliki secara perorangan. Untuk itu pemerintah menetapkan arah/haluan dan menyediakan fasilitas melalui kebijakan anggaran untuk melaksanakan fungsi alokasi, sehingga masyarakat bisa menyelenggarakan urusan publik secara otonom. Peran subsidi oleh birokrasi memiliki keterkaitan erat dengan pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam arti proporsional untuk mendorong tercapainya pertumbuhan dan kesejahteraan yang optimal. Birokrasi dalam fungsi subsidi ini melaksanakan fungsi distribusi, misalnya melalui kebijakan pungutan pajak dan bantuan sosial. Peran regulasi dalam birokrasi terkait dengan stabilisasi negara, dimana birokrasi memiliki keterkaitan erat dengan fungsi mengatur variabel ekonomi makro dengan sasaran untuk mencapai stabilitas ekonomi secara nasional. Peran pokok pemerintah adalah menjaga law and order agar para pelaku dalam tata pemerintahan, khususnya pelaku ekonomi, atau pihak-pihak yang berpolitik dengan mengandalkan modal bisa bersaing secara fair. Sedangkan peran produksi menjadi tugas birokrasi untuk menyediakan barang/jasa yang dibutuhkan masyarakat yang tidak bisa/mampu disediakan oleh stakeholders lain (swasta dan masyarakat), dan posisi barang/jasa tersebut sangat vital untuk kesejahteraan masyarakat.
Pemikiran tentang birokrasi yang masih berkembang (termasuk di Indonesia) dan masih dijadikan acuan sampai saat ini dicetuskan oleh Max Weber pada awal abad ke 19. Menurut Weber tipe ideal birokrasi itu ingin menjelaskan bahwa suatu birokrasi atau administrasi itu mempunyai suatu bentuk yang pasti, dimana semua fungsi dijalankan dalam cara-cara yang rasional. Istilah rasional dengan segala aspek pemahamannya tersebut merupakan kunci dari konsep tipe ideal birokrasi “Weberian”. Tipe ideal birokrasi menurut Weber itu dilakukan dalam cara-cara sebagai berikut:
- Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya.
- Jabatan-jabatan tersebut disusun dalam tingkatan hirarkhi dari atas ke bawah dan kesamping. Konsekuensinya ada jabatan atasan dan bawahan, dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil.
- Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hirarkhi itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya.
- Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak.
- Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif.
- Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pension sesuai dengan tingkatan hirarkhi jabatan yang disandangnya.
- Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaan dan jabatannya sesuai dengan keinginannya, dan kontraknya dapat diakhiri dalam keadaan tertentu.
- Terdapat struktur pengembangan karir yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan yang obyektif.
- Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
- Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin (Weber dan Albrow dalam Thoha 2014: 18).
Weber menganggap birokrasi merupakan bentuk organisasi yang paling rasional dan paling mampu mencapai tujuan. Akan tetapi pemikiran Weber tentang birokrasi melahirkan kritikan yang menganggap birokrasi bersifat kaku, berbelit-belit dan cenderung tidak manusiawi. Kecenderungan birokrasi untuk membangun hubungan yang bersifat impersonal dan formal dapat mengabaikan perhatian organisasi itu terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu organisasi. Dalam suatu birokrasi weberian juga muncul formalisasi aturan dan prosedur, yang apabila diterapkan secara kaku akan sangat menghambat munculnya perubahan dan inovasi dalam kehidupan birokrasi publik. Permasalahan yang muncul juga dalam birokrasi versi Weber adalah alur hirarkhi yang panjang, dimana kerapkali membuat keputusan dalam birokrasi menjadi sangat terkotak-kotak (fragmented) karena arus informasi dan perintah hanya berjalan secara vertikal.
Meskipun banyak kritik yang ditujukan kepada pemikiran Weber tentang birokrasi, namun sampai saat ini belum ada konsep yang mapan dan matang yang mampu menggantikan konsep birokrasinya. Walaupun demikian, berbagai upaya untuk membuat birokrasi menjadi lebih fleksibel, mudah, murah dan efisien terus dikembangkan oleh berbagai ahli terutama dalam bidang administrasi publik. Apapun perspektif dan definisi yang digunakan dalam memahami dan memaknai birokrasi, satu hal yang menjadi harapan agar birokrasi bisa mengubah wajahnya menjadi pelayan publik yang benar-benar bisa mengerti apa yang dibutuhkan publik. Apabila birokrasi dianalogikan seperti sebuah organisasi yang bersifat artifact (buatan manusia) yang tidak pernah sempurna, tentu harus selalu mengalami perubahan-perubahan untuk perbaikan birokrasi itu sendiri. Dalam konteks tersebut, birokrasi selalu berhadapan dengan kebutuhan untuk dilakukan reformasi.
- Reformasi Birokrasi di Indonesia
Sebagai suatu istilah, reformasi birokrasi dinyatakan dalam banyak istilah yang pada dasarnya berkaitan dengan upaya membangun pemerintahan agar benar-benar memiliki kemampuan untuk memenuhi tujuannya, yakni mewujudkan kehidupan rakyat yang sejahtera, adil, dan bermartabat. Berbagai istilah tersebut antara lain adalah reformasi administratif, reformasi administrasi publik, dan reformasi sektor publik. Dengan istilah yang beragam tersebut, kebutuhan akan reformasi birokrasi secara umum bertujuan untuk mengatasi kelemahan yang dimiliki oleh birokrasi seperti birokrasi yang dipandang lamban, kaku, tidak efisien, berbelit-belit, korup, tidak responsif terhadap tuntutan masyarakat serta berbagai patologi birokrasi lainnya.
Pemikiran yang sangat mempengaruhi gerakan reformasi muncul pada dekade 1990an, dengan adanya gagasan yang dikemukakan oleh Gaebler dan Osborne (1992) berkaitan dengan fenomena birokrasi pemerintahan di Amerika Serikat yang dianggap sangat
...